Aku pernah berkata jika perasaan cinta dapat datang kapan saja, dan di mana saja ia mau. Cinta tidak selalu dimulai, ia bisa saja hadir dalam lamunan, hadir di sela-sela pencarian makna kehidupan, hadir ketika kau sedang menggulir akun media sosialmu dan cinta tidak selalu berakhir seperti keinginan kita.
Cinta adalah pertempuran; ialah pergumulan tanpa akhir, kekaguman tanpa jeda.
Juga bagiku, cinta tidak mesti tersampaikan.
Aku memilih untuk menyimpannya sendiri, menjaga nyala hasrat agar ia yang kucintai dan kagumi tetap menjadi bagian dari diriku yang tak terpisahkan.
Namun, bohong jika aku berkata bahwa aku tidak ingin, barang secuil, menjadi bagian dari seorang yang aku kagumi tersebut.
Tetapi, apakah alasan itu cukup untuk membuatku lalu menyeberangi tembok tak kasat mata antara aku dengan dirinya? Apakah itu cukup menjadi alasan hingga aku menghilangkan kebebasan demi kepuasan egoku sendiri? Maksudku, kita tak mengenal satu sama lain.
Entahlah, mungkin ini semua terasa lebih berat karena aku terlalu menganggap dirinya kekaguman yang terlalu jauh.
Juga bagaimana ia yang sebelumnya dalam bayangku termistifikasi lambat laun menjadi begitu nyata, aku cukup malu menyampaikan jika beberapa kali ia hadir dalam mimpiku sebagai sosok yang benar-benar berbeda.
Tentu aku tak mengenal dirinya lebih dari apa yang aku lihat dalam layar media sosialku, namun aku cukup percaya pada kemampuanku dalam membaca seorang dalam dunia maya sekalipun.
Dari apa yang kutahu, ia tidak jauh berbeda dengan wanita lainnya, melakukan rutinitas yang mungkin hampir sama setiap harinya. Bekerja delapan hingga sepuluh jam per hari, lalu pulang untuk beristirahat dan esok kembali mengulangi hal yang sama.
Namun, sejak aku mulai menganggumi setiap gambar-gambar yang ia cipta, lambat laun aku juga melihat foto-foto lainnya yang ia unggah, entah ketika ia berada di tempat-tempat umum, pantai ataupun dalam ruangan sekalipun, ia dapat menangkap momen-momen itu dalam simplisitasnya yang memukau. Biasa namun tetap terlihat spesial.
Dari semua pengamatanku tentangnya tersebut, bagiku ia sungguh indah, namun sekaligus pasif dan sendu, seperti setangkai bunga yang terinjak.
Wajahnya yang mungil dan lembut, rambutnya yang tertutup hijab, terlihat tanpa hasrat, tanpa jiwa yang membara. Ia masih muda, tapi mimpinya seakan ia biarkan bersemayam di atas permukaan bintang yang telah mati di langit sana. Ia bagaikan satu bintang penyendiri di antara berjuta-juta bintang di seantero Bima Sakti, bintang semu yang selalu bersembunyi di balik bayang-bayang, tak lagi berpendar bahkan di kala bulan menampakkan dirinya, memantulkan cahaya.
Sedangkan di satu sisi, bagiku ia seperti cahaya natural yang persisten marasuk melalui kisi- kisi jendela di balik tirai di pagi hari, datang dan pergi, selalu bergerak.
Jika bayangan artifisial membuat bayangan seakan menjadi batu, tetapi tidak dengan dirinya. Ia adalah cahaya yang membuat bayang-bayangnya tetap hidup, bergerak dan bernafas, sambil terus membiarkan bayang-bayang tersebut mengikutinya, kemanapun ia pergi.
Seperti diriku yang kini mulai kusadari, menjadi bagian dari bayang-bayang atas dirinya.
Ah, aku rasa, aku begitu mengaguminya hingga aku mencintai absensinya, begitu mencintainya hingga aku mencintai pengharapanku sendiri yang kulalui atas nama dirinya.
Namun pada akhirnya, satu-satunya yang kutahu pasti mengenainya adalah kemungkinan, mungkin dan mungkin. Aku tidak pernah tahu pasti tentang dirinya. Semuanya relatif, subyektif.
Ah…mencintai itu hal yang biasa. Percayalah, dewasa ini, tidaklah begitu sulit untuk mencintai. Memutuskan apa yang aka kau lakukan dengan cinta dan pengharapanmu, di situ kesulitannya dimulai.
Setelah ini, mungkin ia juga mempunyai konsepsinya tersendiri mengenai siapa diriku. Sahabatnya, kawannya, pengagumnya, budaknya, apapun itu. Itu bukan masalah. Karena aku memang akan selalu pengagum dirinya dari balik belukar realitas.
Yang pasti bagiku saat ini adalah aku akan selalu manaruh rasa iri pada setiap orang yang pernah dan sedang di dekatnya.